Sabtu, 08 September 2012
Simulakra arif: Epistemologi Realisme
Simulakra arif: Epistemologi Realisme: EPISTEMOLOGI REALISME Mohd. Arifullah ABSTRAK Epistemologi Realisme merupakan hal yang melawan mainstream pada masanya...
Jumat, 07 September 2012
Epistemologi Realisme
EPISTEMOLOGI REALISME
Mohd. Arifullah
ABSTRAK
Epistemologi Realisme merupakan hal yang
melawan mainstream pada masanya, berbeda dengan epistemologi postivistik yang
lebih dahulu menguasai paradigma keilmuan manusia modern, realisme menggunakan
uji falsifikasi bukan uji verifikasi. Karena itu pula ia tidak membatasi
epistemologi ilmu dalam ranah rasio, empiri, ataupun fungsional, selama ia
tidak terbukti salah. Keunikan aliran ini lebih jauh dapat ditilik dalam
tulisan tentang epistemologi realisme ini, yang lebih jauh akan mengulas cukup
detail tentang realisme mulai dari pengertian, ragam, dan juga aplikasinya
dalam penelitian. Karena ini tulisan ini patut disimak untuk mengetahui lebih
jauh tentang epistemologi realisme.
Pendahuluan
Ilmu pengetahuan sebagai hasil produk manusia tidak luput
dari sorotan filsafat. Dalam pandangan para tokoh filsafat klasik, ilmu
pengetahuan dilihat dari dua perspektif yang berbeda. Kaum Idealis seperti yang
diwakili oleh Plato melihat pengetahuan bersumber dari ide, sementara
Aristoteles yang mewakili kaum empiris lebih menekankan ilmu pengetahuan
bersumber dari empiri. Hal tersebut memperlihatkan bahwa ilmu pengetahuan telah
menjadi perhatian yang serius dari tokoh-tokoh filsafat sejak dahulu.
Ilmu pengetahuan modern juga tidak luput dari sorotan para
tokoh filsafat. Maka berkembanglah filsafat mengenai ilmu pengetahuan atau
filsafat ilmu yang lebih dikenal dengan istilah epistemologi.
Epistemologi merupakan sistem filsafat yang membahas cara kerja ilmu
pengetahuan, masalah kebenaran, kepastian,dan juga kepercayaan yang terkandung
dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal ini epistemologi lebih merupakan suatu upaya
kritik ilmu pengetahuan.
Filsafat ilmu mulai diminati sejak awal abad ke-17, dirintis
sistematis oleh Francis Bacon
(1561-1628). Ia merupakan orang pertama yang mengamati secara mendalam tentang
ilmu pengetahuan, dan sampai pada keyakinan terhadap empirisme ilmu
pengetahuan. Hal itulah yang diteruskan oleh tokoh-tokoh empirisme lainnya
seperti David Hume (1711-1776) ataupun John Struart Mill (1806-1873).
Perkembangan filsafat ilmu selanjutnya melahirkan suatu
pandangan positivistik, melihat ilmu pengetahuan harus dapat diukur secara
pasti dalam ukuran-ukuran rasional dan empiris terntentu. Pandangan positivistik tersebut
merupakan pandangan umum yang diterima luasa para filosof abad ke-19. Karena
itu kemunculan Realisme, merupakan satu tanda ke arah transisi menuju era
pengetahuan baru.
Arti Epistemologi
Epistemologi
berasal dari dua akar kata Latin yaitu epistem dan logos. Kata
pertama berarti teori sedangkan kata kedua berarti pengetahuan. Maka etimologi kata epistemologi
diterjemahkan sebagai teori pengetahuan atau theory of knowledge.
Dalam
praktik teknisnya, epistemologi merupakan suatu cabang filsafat yang mempersoalkan
asal-usul, susunan, metode, serta kebenaran pengetahuan. Atau teori pengetahuan
yang mempersoalkan masalah hakikat ilmu pengetahuan, unsur-unsur ilmu
pengetahuan, susunan ilmu pengetahuan, fundamen ilmu pengetahuan, metode ilmu
pengetahuan, serta batasan-batasan ilmu pengetahuan.[1]
Epistemologi
dalam batasan yang lebih khusus, dapat pula berarti suatu komponen
kefilsafatan. Membicarakan proses
yang terlihat dalam usaha memperoleh pengetahuan (theory of knowledge).
Atau suatu bagian filsafat ilmu yang melakukan pengujian terhadap suatu metode
keilmuan untuk dapat menetapkan lolos atau tidak dalam klasifikasi ilmu yang
diakui.[2]
Adapun metode
keilmuan yang diakui dalam filsafat ilmu, khsususnya positivisme adalam metode
ilmiah. Yaitu metode yang memiliki rasionalitas atau empirisitas yang dapat
diuji, dan dapat memungkinkan tumbuhnya pengetahuan yang sistematis dan
terpercaya. Secara praktis yang dikatakan metode ilmiah adalah metode induktif
dan deduktif.[3]
Berdasarkan
penjelasan di atas, epistemologi umumnya merupakan suatu teori tentang
pengetahuan yang menelusuri berbagai hal yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, terutama menyangkut dasar ontologi, epistemologi,dan juga
aksiologi sebuah ilmu. Epistemologi tampak sebagai ilmu kritik ilmu, yang dalam
batas tertentu terfokus pada persoalan proses peroleh ilmu pengetahuan.
Makna Realisme[4]
Realisme berasal dari akar kata Latin Realis yang
berarti sungguh-sungguh atau nyata benar. Sebagai aliran filsafat
ilmu pengetahuan, realisme menganut sistem kebenaran ganda, yaitu kebenaran
dalam ide dan kebenaran inderawi. Sistem kebenaran ganda tersebut merupakan asumsi dasar
yang menentukan pandangan-pandangan epistemologi realisme.
Realisme sebagaimana aliran filsafat
ilmu pengetahuan lainnya ditopang oleh satu pandangan ontologik[5] atau metafisika tertentu. Realisme
mengakui adanya dua konsep kebenaran, yaitu kebenaran yang diperoleh lewat ide
dan kebenaran yang diperoleh lewat indera. Menurut para realis, bunga melati
yang berwarnai putih benar-benar nyata, tertangkap oleh indera manusia. Bau
harum bunga melati yang putih juga benar-benar ada. Karena itu pemikiran bahwa
bunga melati yang berwarna putih adalah harum merupakan suatu kebenaran.
Artinya realisme mengakui baik esensi ataupun eksistensi objek yang ditangkat
oleh ide (akal) ataupun pancaindera.[6]
Karena itu, dalam pandangan realisme kebenaran tidak hanya ada dalam alam
ide tetapi juga harus ada dalamalam nyata.
Sistematisasi dari kebenaran yang diakui oleh realisme teridentifikasi
alam tiga tingkatan kebenaran, yaitu: (1) Empiri sensual, yaitu
kebenaran yang ditemukan berdasarkan pengamatan ataupun prsoses penginderaan;
(2) Empiri logik, yaitu kebenaran yang
diperoleh melalui ketajaman pikiran, melalui proses pemaknaan indikasi-indikasi
objek yang terindera; (3) Empiri etik, yaitu kebenaran yang diakui
berdasarkan pengakuan akal-budi manusia yang memberi makna ideal terhadap indikasi sensual dan juga logik.[7]
Pengakuan realisme terhadap tiga
tingkatan kebenaran di atas, terutama kebenaran etis, merupakan satu pandangan
yang baru dalam dunia filsafat ilmu masanya. Pengakuan itu, secara langsung
merujuk pada pengakuan tentang adanya kebenaran transendental (dilaur diri
manusia). Artinya realisme cenderung mengakui kebenaran yang terkandung dalam
agama. Hal itu jelas berada di luar koridor kefilsafatan Barat modern, yang
positivistik dan materialistik.
Realisme Awal
Realisme lahir berdasarkan pengaruh
kuat dua orang tokoh, yaitu Reichenbach (1928) dan Toulmin (1953). Reichenbach
mengemukakan bahwa tugas filsafat ilmu adalah membangun teori yang berangkat
dari Westanschauung. Di mana ilmu sendiri difungsikan untuk membangun sistem
ide-ide tentang semesta sebagai realitas. Yaitu sistem ide yang diarahkan untuk
menyajikan teknik-teknik yang tidak hanya tetap dalam memproses data tapi juga
dapat diterima secara umum. Sedangkan Toulmin berpendapat bahwa teori ilmu
harus dibangun dari rangkaian hukum, hipotesis, dan ide tentang semesta yang
tertata secara hirarkis dan bersifat instrumentalistik sebagai alat untuk
membuat kesimpulan.[8]
Pandangan kedua tokoh nyata menjadi
kounter bagi para idealis. Dalam pandangan idealisme, objek fisik ada dalam pikiran
manusia. Sedangkan realisme melihat ada kemungkinan memang objek fisik berasal
dari pikiran, tapi lebih mungkin dikatakan bahwa akal sekedal memikirkan objek
fisik. Objek sendiri
dalam realitasnya tetap berada di luar alam ide.
Ketika orang berpikir tentang
perselisihan antara Amerika dengan Irak (objek pikir), hal tersebut tidak
berarti bahwa perselisihan terjadi dalam alam ide. Eksistensi perselisihan yang
nyata terjadi di luar alam ide si pemikir (realitas). Artinya, objek memang
terkait dengan subjek yang menimbulkan interpretasi pemikiran, tetapi objek
akan selalu tetap memiliki eksistensi yang independen di luar pemikiran subjek.
Bagaimanapun objek selalu akan independen dengan dirinya sendiri.
Walaupun eksistensi objek dapat
diimplikasikan dan ditegaskan oleh subjek pemikir dalam hubungan kausalitas,
tetapi tidak berarti objek tidak memiliki independensi dalam eksistensinya.
Misalnya, walaupun dosen menunjukkan/ menyebabkan adanya mahasiswa, namun tidak
berarti eksistensi seorang mahasiswa menjadi nihil tanpa keberadaan dosen.
Mahasiswa dalam arti yang sebenarnya tetap akan ada walaupun tanpa dosen.[9]
Realisme dalam hal ini mengakui bahwa
pengetahuan manusia dapat diperoleh melalui beberapa sumber baik sumber
inderawi ataupun akal. Kedua sumber pengetahuan terintegrasi dalam hubungan
kausalitas yang saling mempengaruhi satu sama lain. Walaupun akal diakui memiliki
peran dalam perumusan pengetahuan, tetapi akal tidak akan dapat mempengaruhi
keberadaan objek fisik yang inderawi. Pandangan tersebut jelas berbeda dengan
pandangan para tokoh idealis ataupun empiris.
Realisme awal pada tahap tertentu belum
sampai pada pengakuan terhadap akal busi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Mereka hanya
sampai pada pengakuan akal dan indera sebagai sumber pengetahuan. Dalam konteks
ini realisme awal murni merupakan kounter terhadap epistemologi idealisme dan
realisme. Baru pada perkembangan berikut realisme mengakui peranan akal-budi
dalam perolehan pengetahuan,yaitu dalam realisme metafisik.
Realisme Metafisik
Pandangan dua tokoh di atas,
selanjutnya menjadi landasan bagi lahirnya sebuah pandangan epistemologi baru
yang lebih unik, yaitu realisme metafisik. Berbeda dengan realisme awal yang hanya mengakui kebenaran dalam
tataran ide dan sensual, realisme metafisik berangkat lebih jauh dengan
mengakui kebenaran dalam tataran metafisik. Tokoh dari realisme metafisik yang
terkemukaantara lain Karl Raimund Popper (1902) dan Paul Karl Feyerabend
(1924).
Popper
merupakan tokoh yang berhasil mengintrodusir suatu jaman filsafat ilmu
pengetahuan baru, yang kemudian dirintis oleh Thomas Samuel Kuhn. Khun
merupakan tokoh yang dengan sengit mengajukan
tesis bahwa epistemologi tidak lebih dari perang asumsi bahwa epistemologi
positivistik yang mempengaruhi alam pikir
modern telah mengalami fase pembusukan paradigmatik asumsial yang
mendasar. Di tengah keobjektivannya positivisme tenyata bersifat amat subjektif
karenan di bangun berdasarkan pandangan subjektif manusia.
Pandangan tersebutlah yang diterukan
oleh Popper. Popper menentang keras pembuktian kebenaran melalui verifikasi
yang membatasi secara tegas apa yang disebut ilmiah dan tidak ilmiah.
Menurut Popper, pokok pembatasan (demarcation)
ilmiah dan tidak ilmiah tidak dapat diketahui melalui verifikasi,
tetapi harus dibuktikan dengan melihat ada tidaknya kemungkinan falsifikasi
bagi ungkapan bersangkutan. Suatu ungkapan tidak dapat dibuktikan empiris atau
tidak melalui verifikasi (pembenaran), karena amat mustahil suatu kebenaran
dibuktikan melalui proses induksi yang menuntut bukti empiris.[10]
Sebagai ganti verifikasi yang
mendasarkan pengetahuan ilmiah dapat dibuktikan memlaui pembenaran induksi,
Popper mengajukan falsifikasi, berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan ilmiah
dapat dibuktikan salah melalui logika deduktif yang ketat. Melalui proses
falsifikasi, Popper sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada ungkapan, hipotesa,
hukum,dan teori yang definitif dan baku. Semua pengetahuan manusia bersifat
relatif, yakni terbuka bagi pembuktian salah. Lebih jauh menurutnya, jika ilmu
pengetahuan dibuktikan dalam verifikasi, hal tersebut menunjukkan ketertutupan
ilmu pengetahuan dan akan menyebabkannya ideologi kaku yang sakral untuk
dikritik atau diperbarui.[11]
Sebagai kelanjutan dari pandangan
Popper, Feryerabend, bertindak lebih jauh. Baginya teori yang telah teruji
dalam falsifikasi harus dipertahankan sampai ia terbukti salah berdasarkan
temuan fakta-fakta baru yang lebih aktual. Ia mengajukan dua kondis teori,
yaitu kondisi ajeg dan kondisi keragaman makna. Artinya teori harus dilihat
dalam perbedaan yang beragam, di mana teori yang memiliki pandangan esensial
sama akan tampil sebagai keajegan dalam keragaman.[12]
Apa yang ingin diusahakan oleh
Feyerabend adalah sebuah anarkisme epistemologis. Yaitu suatau anarkisme yang
bersifat teoritis berdasarkan asumsi bahwa ilmu pengetahuan secara hakiki
merupakan usaha anarkisme mutlak. Bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya berisi
fakta-fakta dan kesimpulan fakta, tetapi juga berisi ide-ide, interpretasi
terhadap fakta. Karena itu ilmu pengetahuan yang tidak lebih dari hasil
interpretasi fakta tidak akan memiliki kebenaran yang mutlak. Ia dapat salah
karena kesalahan interpretasi. Artinya ilmu bukanlah fakta itu sendiri, ilmu
hanyalah ide dari fakta atau hasil interpretasi fakta yang senantiasa subjektif
dipengaruhi oleh penginterpretasi dan keadaan-keadaan sejarah penginterpretasi.
Anarkisme epistemologi atau teoritis yang
digagas oleg Feyerabend merupakan kritik atas ilmu pengetahuan. Karena
epistemologi ilmu sangat mungkin dimasuki kesalahanm interpretasi yang
dinamakannya sakit epistemologi. Dan arnarkisme merupakan obat paling
mujarab.Untuk itu, Feyerabend mengajukan dua model kritik ilmu pengetahuan,
yaitu kritik terhadap tubuh ilmu pengetahuan (anti-metode) dan kritik terhadap
praktik ilmiah serta kedudukan ilmu pengetahuan di dalam masyarakat (anti-ilmu
pengetahuan).
Pertama Anti-metode didasarkan pada kebebasan
individu, untuk melawan kekakkuan ilmu pengathuan. Feyerabend berupaya melawan
ilmu pengetahuan yang dianggap memiliki metode yang baku,universal dan tahan
sepanjang masa. Menurutnya klaim tersebut sangat tidak realistis dan jahat.
Tidak realistis, karena pengetahuan hanyalah hasil dari interpretasi terhadap
fakta yang belum tentu sesuai dengan realitas faktual, dan jahat karena ia
berupaya memaksakan hukum yang menghalangi berkembangnya kualitas-kualitas
kebenaran lain.
Klaim seperti itu tentu saja sangat berbahaya
bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri, karena menutup kemungkinan
perubahan ilmu pengetahuan ke arah yang lebih mendekati kebenaran raelitas.
Sejarah sendiri membuktikan bahwa ilmu pengetahuan berkembang karena berbagai
pertentangan metodis dan teoritis. Karena itu pembakuan metode dan teori ilmu
pengetahuan, seperti yang terjadi dalam positivisme akan menghambat laju ilmu
pengetahuan itu sendiri. Karena itu menurut Feyerabend, ilmu pengetahuan harus
didasarkan pada prinsip pengembangbiakan dan prinsip apa saja boleh.
Prinsip Pengembangbiakan berarti
membiarkan semua pengetahuan berkembang sendiri-sendiri, karena manusia tidak
bekerja dalam sistem pemikiran, bentuk kehidupan, dan kerangka institusional
yang tunggal. Artinya pluralisme teori, sistem pemikiran, dan institusi
pemikiran harus ditegakkan. Prinsip pengembangbiakan juga berarti tidak adanaya
penindasan atau pemaksaan satu produk pemikiran tertentu terhadap manusia
lainnya, setaip orang bebas memiliki kecenderungan pemikirannya sendiri, seaneh
apapun itu.[13] Artinya, kembali pada pemikiran Popper
tidak ada lagi klaim ilmiah atau tidak ilmiah.
Adapun prinsip apa saja boleh
merujuk pada upaya untuk membiarkan segala sesuatu berlangsung tanpa banyak
aturan. Prinsip ini mengindikasikan perlawanan terhadap atauran atau hukum baku
yang membatasi perkembangan ilmu pengetahuan. Artinya setiap orang bebas untuk
menjalankan praktik riset seperti apa keyakinannya tanpa ada upaya untuk
membakukan praktik melalui pemaksaan satu aturan baku. Karena bahkan hukum baku
yang dianggap universal sekalipun pasti memiliki keterbatasan.
Kedua anti-ilmu pengetahuan, didasarkan pada
asumsi tidak adanya kekuasaan ilmu pengathuan terhadap diri manusia. Bahwa ilmu
pengetahuan tidak akan pernah mengungguli bidang-bidang dan pengetahuan manusia
lainnya, termasuk mitologi. Kalaupun ilmu pengetahuan dewasa ini tampak lebih
unggul, bukan karena mereka terbukti dalam realitas faktual, tetapi lebih
karena propadganda para ilmuan dan adanya tolak ukur institusional yang dibakukan
dan diberi kewenangan untuk memutuskan klasifikasi ilmiah atau tidak ilmiah.
Pembakuan terhadap kebenaran adalah
monopoli kebenaran ideologis yang menindas kebudayaan alternatif. Itu, justeru
menjadikan para ilmuan bertindak menyalahi dari apa yang selama ini mereka
kritik, yaitu pensaklakan kebenaran seperti yang pernah dilakukan gereja.[14]
Apa yang ingin dikatakan oleh
Feyerabend adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya merupakan satu jalan, salah-satu
idealogi,yang ada dalam kebudayaan mansyarakat. Kebenaran yang dicapai ilmu
pengetahuan sendiri bersifat relatif hanya mengandung sebagian kebenaran dari
semesta kebenaran yang akan digapai oleh manusia untuk menghapus kejahilannya dan sekaligus
mencapai superioritasnya dari makluk lainnya.
Realisme dalam bahasan di atas jelas
tampak sebagai respon dari rasionalisme dan empirisme. Pada satu sisi ia
mengakui rasio/logika sebagai sumber peroleh kebenaran, namun pada sisi lain ia
juga mengakui empiri sensual sebagai sumber perolehan kebenaran. Alih-alih ia
juga mengakui moral-etis (akal-budi) sebagai sumber perolehan kebenaran.
Artinya ia telah meruntuhkan sekaligus menerima pandangan-pandangan dari
rasionalisme dan empirisme untuk kemudian digunakan membangun sebuah pandangan
epistemologi baru yang benar-benar berbeda. Pada kenyataan inilah realisme
dianggap sebagai tonggak epistemologi baru. Yaitu epistemologi yang lebih
manusiawi dan membebaskan manusia dalam pencapaian semesta kebenaran alam.
Kritiks yang dilakukan realisme sendiri
hanya merupakan alat bukan tujuan. apa yang diinginkan adalah tercapainya
realisme atau pencapaian kebenaran yang
hakiki. Karena itu tidak ada satu pihak yang dapat mengklaim satu pembakuan
teori, metode ataupun epistemologi dalam ilmu pengetahuan. Dalam hal inilah
metode berpikir agama yangbersifat deduktif dan juga mitis juga diakui dalam
realisme, berdasarkan prinsip falsifikasi, prinsip keberagaman,
dan juga prinsip apa saja boleh.
Sistem Epistemologi Realisme
Pandangan epistemologi realisme dapat
dirujuk dasar-dasar metafisika atau ontologinya, sebagaimana telah disebutkan
terdahulu. Epistemologi realisme beranjak dari tiga tingkatan kebenaran yang
diakuinya, yaitu kebenaran sensual, logis, dan etis. Pengakuan terhadap
kebenaran sensual, logis,dan etis menunjukkan realisme mengakui indera, akal,
dan juga hati (akal-budi) sebagai alat perolehan ilmu pengetahuan. Karena itu, seperti rasionalisme, raealisme
menganut sistem epistemologi nomethetik. Yaitu sistem epistemologi yang
berupaya membuat hukum melalui generalisasi, melalui telaah hubungan
sebab-akibat. Tidak ada akibat tanpa sebab demikian sebaliknya tidak ada sebab
tanpa akibat.[15]
Pengetahuan menurut para realis berawal
dari objek-objek fisik yang kemudian dipikirkan secara logis ataupun dimaknai
secara etis. Objek-objek fisik pengetahuan sendiri bersifat independen dari
tindakan mengetahui. Objek tidak akan mengalami perubahan apapun perbedaan
pengetahuan manusia tentangnya. Sehingga objek tidak akan pernah terpengaruh
oleh interpretasi yang dapat benar ataupun mengelabui. Meja kayu tetapakan
berupa kayu apapun konsepsi manusia tentangnya. Konsep atau pengetahuan yang
dibangun dan dibentuk oleh proses mental pada dasarnya hanyalah alat untuk
mengetahui objek,dan ia bukanlah
representasi yang sesungguhnya dari objek itu sendiri.[16]
Merujuk pada pandangan para tokoh
realisme metafisik, pengetahuan pada dasanya hanyalah interpretyasi manusia
yang subjektif terhadap objek, atau realitas. Karena itu, tidak ada pensaklakan
yang baku terhadap proses perolehan pengetahuan, akal, sensual, ataupun
akal-budi dapat digunakan dalam menginter[retasikan objek. Hasil interpretasi
itu sendiri tidak memiliki kebenaran mutlak. Ia bersifat realtif dan senantiasa
terpola oleh alam pikir, sistem pikir, dan juga institusi pikir manusia. Setiap
manusia bebas menginterpretasikan realitas, dan perbedaan hasil interpretasi
merupakan keragaman yang harus diakui dalam sistem kebenaran yang realatif. Apa
saja boleh digunakan dalam proses interpretasi untuk menghasilkan satu
pandangan ilmu pengetahuan yang progressif
dan semakin dekat pada kebenaran.
Realisme Mertafisik dalam Praktik Penelitian
Praktik realisme metafisik dalam
penelitian dapat disorot dari praktiknya dalam ilmu-ilmu kealaman dan sosial,
serta praktiknya dalam ilmu-ilmu keagamaan, terutama Islam. Pertanyaan praktis
yang perlu dipertanyakan dalam hal ini, bagaimana praktik realisme-metafisik
dalam penelitian. Hal ini patut dipertanyakan karena realisme-metafisik
berlawanan dari kebiasaan yang ada. Ia menggunakan uji falsifikasi untuk
memperoleh kebenaran. Seperti dikatakan Popper teori ilmiah hanya sekedar
hipotesis yang tidak mengenal akhir, karena itu setiap teori seharusnya terbuka
untuk digantikan oleh teori yang lebih minim kesalahannya.[17]
Realisme metafisik dalam praktik
penelitian banyak digunakan baik dalam penelitian kualitatif dan juga pustaka.
Penelitian diusahakan untuk menemukan satu grand-theory yang selanjutkan akan
diuji dalam pembukjtian falsifikasi. Artinya pengujian tidak dilakukan untuk
mencari bukti-bukti faktual interpretatif dalam menguatkan teori (verifikasi)
tetepi dilakukan untuk mencari bukti-bukti empirik yang justeri mengingkari
teori besar. Teori besar evolusi Darwin musalnya telah diuji dengan mencari
bukti-bukti di mana teori tersebut tidak berlaku terhadap beberapa kelompok
spesies atau tumbuhan. Hal inilah yang banyak dilakukan oleh para ilmuan yang
bergelut dalam fisika quantum.[18]
Teori-teori besar
lainnya dapat pula diuji dalam proses uji falsifikasi, seperti teori dentuman
besar, dan sebagainya. Tidak hanya dalam ilmu kealaman,uji falsifikasi dapat
pula diterapkan untuk menguji tesis-tesis yang ditemukan dalam ilmu sosial.
Tesis Marx tentang pertentangan antar klas misalnya dapat diuji dengan
mengentengahkan realitas di luar Eropa. Misalnya dengan menguji pertentangan
yang terjadi di dunia Islam yang menghadapkan pengikut Nabi yang humanis dengan
kaum kafir Quraish yang konservatif.
Praktik realisme metafisik yang mengutamakan uji
falsifikasi tidak terbantahkan mencoba melahirkan berbagai teori baru dalam
ilmu pengetahuan. Dikatakan oleh Fayerabend, ketimbang mencari teori ilmiah
yang sempurna melalui uji vefifikasi, para ilmuan lebih baik mendorong
pengembangbiakan teori. Semakin banyak dan berbeda teori ilmiah yang dihasilkan
maka semakin baik kontribusinya bagi pengetahuan ilmiah. Walaupun teori
tersebut dilihat saling berlawanan satu sama lain.[19]
Praktik ilmiah realisme dalam penelitian memperlihat
kecenderungan yang kuat untuk melahirkan teori baru, dan bukan untuk
mempertahankan teori besar. Hal itu amat mungkin dihasilkan melalui uji
falsifikasi. Mengapa demikian? Karena dalam uji falsifikasi teori besar yang
diyakini pasti memiliki keterbatasan, sebagai hasil interpretasi akal manusia
terhadap fakta, akan menghasilkan teori-teori baru. Demikian seterusnya, maka tiap
ilmuan akan memiliki teori yang beragam tentang suatu fakta.
Itu akan mendorong keragaman teori yang akhirnya
mendorong suatu dinamisasi dalam ilmu pengetahuan. Artinya ilmu akan terus
berkembangan dan tidak akan pernah mengenal kata final. Karena itu realisme
amat anti terhadap pembakuan, sakralisasi dan juga ketertutupan. Ilmu
pengetahuan harus senantiasa bersifat terbuka, di sanalah ilmu pengetahuan
dapat berkembangan dan diupayakan dapat merangkum semesta kebenaran.
Peranyaan lain yang muncul adalah bagaimana pula
penerapan realisme-metafisik dalam penelitian agama. apakah ilmu-ilmu agama
juga dapat ditelaah dalam pendekatan realisme metafisik? Pertanyaan ini akan
dijawab dalam bahasan berikut.
Realisme metafisik dapat pula diterapkan dalam ilmu-ilmu
keeagamaan, termasuk ilmu keislaman. Hal itu dimungkinkan karena realisme
metafisik tidak hanya mengakui objek penelitian dalam kawasan rasio dan
sensual, tetapi juga dalam kawasan realitas transendental metafisika. Realisme
metafisika dalam hal ini mengakui adanya realitas empiri etik.
Dalam proses penerapannya, data-data transendental
keagamaan yang ada akan mengalami uji falsifikasi dihadapan realitas empririk
yang esensial. Hal ini terkait dengan pengujian terhadap teks-teks keagamaan
yang dianut umat Islam. Adapun berbagai keilmuan Islam yang notabenenya
memiliki akar kesejarahan, maka ilmu pengetahuan tersebut akan diuji dalam
pengujian falsifikasi dihadapan teks, yakni setelah teks terbukti memiliki
keterpercayaan dalam pengujian falsifikasi.
Pengujian tersebut penting dalam upaya sekulerisasi,
seperti yang diupayakan oleh Nurcholish Madjid.Yaitu menempatkan hal-hal yang
sementinya transenden sebagai transenden dan menempatkan hal-hal yang immanen
pada imanensinya.Artinya teks-teks keagamaan yang transenden memang perlu
ditempatkan sebagai hal yang sakral, namun tidak bebas uji, ia tetap harus
diuji dengan kenyataan realitas yang ada.ilmu-ilmu keagamaan sendiri yang
dihasilkan oleh penafsiran manusia terhadap teks, kemudian perlu diuji tingkat
falsifikasinya dengan teks. Hal itu pada
akhirnya akan memperlihatkan di mana wilayah-wilayah keagamaan yang bersifat
transenden dan di mana wilayah-wilayah keagamaan yang bersifat immanen atau
menyejarah.
Hasilnya akan ditemukan bahwa teks-teks keagamaan, terutama
al-Qur’an, memang benar-benar transenden. Sedangkan ilmu-ilmu keagamaan yang
tidak lebih daripenafsiran manusia yang terpola oleh keadaan subjektif sejarah
manusia akan diperlakukan sebagai produk ilmu yang realtif. Karena memiliki
tingkat kebenaran yang relatif dihadapan teks.
Dalam pola telaah
demikian, maka ilmu-ilmu keaagamaan akan mengalami proses kritis, sehingga
memungkinkan munculnya berbagai teori baru dalam ilmu-ilmu keagamaan. Hal ini
tentu akan memicu keragaman penafsiran baru, dan hal justeru amat positif bagi
dinamisasi dan penyegaran ilmu keagamaan, seperti yang digagas oleh para
pemikir Islam kontemporer. Antara lain Muhammad Iqbal dalam proyek penyegaran
pemahaman keagamaan Islam, Muhammed
Arkoun melalui proyek Kritik Nalar Islam.
Proses demikian pula yang akan melahirkan teori-teori
baru dalam ilmu keagamaan, dalam berbagai perspektif. Baik dalam bidang fiqh,
filsafat, teologi, tasauf dan sebagainya. Di sanalah ranah ilmuan pemikir Islam
proggressif (liberal) seperti Syed
Hussein Nasr, Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, ataupun Amina Wadud Ibrahim berada.
Satu hal yang ingin penulis tekankan, bahwa praktik
realisme metafisik dalam ilmu-ilmu keagamaan perlu ditunjang oleh kritik
kesejarahan yang akan mengantarkan kesadaran yang baik terhadap kenyataan
historis ilmu-ilmu keagamaan. Kesadaran itu merupakan langkah awal untuk dapat
melakukan uji falsifikasi terhadap ilmu-ilmu keagamaan yang selama ini kadung
disakralkan.
Akhir Kata
Penulis memahami bahwa realisme terutama realisme
metafisik benar-benar merupakan satu sistem epistemologi yang benar-benar baru,
melawan mainstreem positivistik yang selama ini kental dengan demarkasi
ilmiah dan tidak ilmiah. Dalam realisme metafisika tidak ada lagi batas ilmiah
dan tidak ilmiah, yang ada dalah apakah suatu teori, tesis, ataupun anggapan
dapat mempertahankan dirinya dalam uji falsisfikasi.
Ketahanan tersebut amatlah tidak mungkin, karena teori,
tesis, atau berbagai pengetahuan tidak lebih dari hasil interpretasi manusia
yang terbatas. Karena itu tidak hal baku dalam realisme metafisika. Ilmu akan
terus berkembang dan terus berkembang hingga akhir kehidupan peradaban manusia.
Tidak terkecuali dengan ilmu-ilmu keagamaan yang tidak lebih dari hasil
penafsiran manusia terhadap wahyu yang senantiasa dapat ditafsirkan secara
terbuka menurut kemajuan alam pikir, dan institusi pikir manusia suatu zaman.
Akhirnya terdapat satu kesadaran dalam diri penulis bahwa
tidak ada kebenaran mutlak di dunia, kebenaran yang dihasilkan oleh manusia
senantiasa relatif. Karena alam senantiasa baharu. Alam senantiasa berada dalam
proses penciptaan. Tuhan adalah pencipta yang senantiasa berkreasi. Yang mutlak
hanyalah Allah. Memutlakkan kebenaran suatu pengetahuan sama dengan menduakan
Allah. Nauzubillah min zalik.
Karena itu penulis mengapresiasi pemikiran Popper,
Feyerabend, dan juga Thomas Khun sebagai pelanjut mereka, sebagai pemikiran
yang membebaskan. Yaitu pemikiran yang membebaskan manusia dari sistem
epistemologi positivisme yang mengungkung. Demikianlah, semoga berguna Amin!
DAFTAR PUSTAKA
Ewing, A.C. The
Fundemental Questions of Philosophy, (Terj) Uzair fauzan 7 Rika Ifftati
Farika, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, Cet. ke-1
Hardjana, A.
Mangun, Isme-isme dari A Sampai Z, Yogyakarta: Kanisius, 1997, Cet. ke-1
Majalah Filsafat
Driyarkra, ISSN 0126-0243 Th. XVI No. 4, Jalan
Sang Pemikir,Bacon, Hume, Mill, Popper, Feyerabend
Muhadjir, Noeng, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake
Sarasin,1996, Cet., ke-7
Mustansyir, Rizal, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, Cet.ke-2
Palmquis, Stephen, The Three of
Philosophy,(Terj.) Harry Wahyu, Pohon Filsafat, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002, cet. Ke-1
Salam, H. Burhanuddin, Logika
Materil: Filsafat Ilmu pengetahuan, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997, Cet. ke-1
Suriasumanteri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2001, Cet. ke-14
Thoha, H.M. Chabib
(Ed.), Reformasi Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996, Cet. ke-1
[4]Ontologi
disamakan dengan metafisika atau lebih tepat bagian dari metafisika yang
mempersoalkan hakikat eksistensi atau keberadaan kebenaran. (H. Burhanuddin
Salam, Logika Materil: Filsafat Ilmu pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), Cet. ke-1, hal.
71
Langganan:
Komentar (Atom)